Oleh : Ismail Abda
Kehadiran perusahaan yang akan mengeksplorasi minyak dan gas merupakan salah satu wujud inplementasi Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) yakni mengundang dan memberikan kesempatan pihak luar dan dalam negeri untuk berinvestasi di Aceh. Dan salah satu wilayah yang menjadi incaran Investor adalah Kabupaten Aceh Timur.
Pemilik tanah memperhatikan peta tanah bersam tim PT Medco yang klaim tanah bersengketa, pemilik tanah bingung ketika muncul pemilik tanah lainnya. (Harian Aceh/Iskandar Ishak)
Tapi kenyataan dan realita di lapangan, kedatangan investor atau penanam modal ternyata tidak semudah yang dijanjikan dan yang diharapkan oleh masyarakat Aceh pada umumnya dan masyarakat Aceh Timur khususnya. Adalah PT Medco salah satu perusahaan eksplorasi minyak dan gas yang kini menginjak kakinya di Aceh Timur.
Harapan demi harapan bagi sebagian masyarakat Aceh Timur tetap saja masih manjadi harapan belaka, sudah hampir 4 tahun medco berada di Aceh Timur jangankan perekrutan tenaga kerja pembebasan lahan saja belum dapat di lakukan. Ini disebabkan kerana adanya konflik demi konflik yang menjadi pengahalang.
Awal masuk masuk ke Aceh Timur tahun 2007 lalu, Perusahan milik Arifin Diponogoro salah satu pengusaha asal Jakarta ini harus melalui proses yang sangat panjang, bahkan dapat dikatakan harus ‘berperang’ dengan pemerintah Aceh Timur dan kelompok-kelompok yang menantang kedatangannya. Tidak hanya itu untuk urusan administrasipun menjadi kendala untuk beropperasinya perusahaan ini.
Kontrak kerja antara pemerintah Aceh dengan PT Medco sempat habis di tengah jalan sebelum Perusahaan ini bekerja, ini terjadi karena selisih faham antara Bupati Aceh Timur Muslem Hasballah dengan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Kala ini Gubernur telah mengeluarkan izin beroperasinya PT Medco di Aceh Timur, namun izin lokasi tidak di keluarkan oleh Bupati, sehingga waktu tiga tahun terlewati begitu saja tanpa hasil dan implemantasi.
Fenomena ini menjadi menjadi konflik tersendiri dalam kejelasan administrasi bagi Medco hingga perpanjangan kontrak yang kedua, kala itu Bupati Aceh Timur menuding Pemerintah Aceh telah memperpanjang izin beroperasinya PT Medco secara ilegal. Akan tetapi tudingan Bupati Muslem mendapat sorotan dan tanggapan banyak pihak.
Ketua LSM GeMPAR, Auzir Fahlevi dalam rilisnya yang dilansir media cetak kala itu menilai telah terjadi miskomunikasi antara Pemkab Aceh Timur dengan Pemerintah Aceh terkait perpanjangan kontrak Medco. Auzir menuding Gubernur Aceh dan Bupati Aceh Timur telah mengedepankan ego masing-masing.
Menurutnya Jika mengacu UUPA, maka perpanjangan kontrak terhadap Medco yang dilakukan Pemerintah Aceh sah dan legal sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 160 pada ayat 1 sampai 5 dan Pasal 161.
Di sisi lain terhambatnya izin lokasi dari Pemkab Aceh Timur dan perselisihan antara Gubernur dengan Bupati juga memunculkan konflik tersendiri, isu dan dugaan jelek terhadap Bupati datang dari berbagai penjuru dan elemen, salah satunya adalah dugaan adanya permintaan ‘uang cuci tangan’ oleh Bupati Aceh Timur bersama TIM Asistensinya sebesar Rp500 miliar yang tidak terealisasi oleh PT Medco. Sehingga izinnya tidak dikeluarkan.
Namun Bupati Muslem beralasan lain, tidak setujunya Muslem terhadap perpanjangan kontrak PT Medco oleh Pemerintah Aceh hanya karena tidak terakomodirnya hak-hak daerah yakni pembangunan rumah sakit skala international dan pengadaan air minum.
Dalam sebuah pernyataan tertulisnya yang di lansir media, Bupati menyatakan, bahwa Production Sharing Contract (PSC) Blok A yang akan dikeluarkan kepada PT Medco E&P Malaka di Aceh Timur, terlalu dipaksakan dan tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta tidak menghargai kabupaten penghasil, dalam hal ini Aceh Timur.
“Menyaksikan proses ini, Pemerintah Aceh Timur sangat kecewa dan merasa hak-hak rakyat Aceh Timur dan kewenangan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur diabaikan. Padahal jauh hari sebelum dokumen-dokumen tersebut ditandatangani, Pemkab Aceh Timur sesuai peraturan perundang-undangan yang masih berlaku telah beritikad baik membicarakan hal yang terkait dengan Participating Interest dan Program Community Development,” tandas Muslim Hasballah.
Menurut Muslim, Pemkab Aceh Timur merupakan subyek hukum harus dilibatkan dalam proses hak participating interest tersebut dan BUMD Aceh Timur telah melakukan langkah-langkah untuk ikut serta mengambil hak participating interest. Disebutkannya, dalam PP N0 34 Tahun 2005 secara tegas mengatur bahwa kontraktor wajib menawarkan 10% (sepuluh persen) participating interest kepada BUMD di wilayah kerja konsesi kegiatan hulu dilaksanakan.
Bupati mengharapkan pemerintah dalam hal ini Menteri ESDM sebagai regulator bisa memperhatikan dan mempertimbangkan hak daerah penghasil dalam menerbitkan segala peraturan di bawah UU yang terkait dengan persoalan Participating Interest dan Program Community Development untuk kepentingan semua pihak terutama rakyat Aceh Timur secara khusus dan rakyat Aceh secara umum serta rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Tidak hanya Bupati yang kecewa dalam perpanjangan kontrak PT Medco oleh Pemerintah Aceh, koalisi LSM Aceh Timur yang tergabung dalam konsorsium Aceh Timur Memantau, yang terdiri dari SaPA Aceh, Gerakan Solidaritas untuk Aceh Timur (GaSAT), KaNA, LPPAT, KMP, GEUPEGOM, AMI, PeUNA, SUARA, dan SIPAT. Ikut menyuarakan sikap kecewa mereka yang ditujukan kepada gubernur dan Ketua DPR Aceh yang menyetujui perpanjangan kontrak tersebut, karena dengan tegas Pemerintah Aceh mengabaikan kepentingan Kabupaten Aceh Timur.
Dalam kesempatan lain, Bupati Aceh Timur Muslim Hasballah mengungkapkan. polimik ini seolah-olah sengaja diciptakan bahwa dirinya sebagai bupati meminta sesuatu secara pribadi dari Medco. Ia meminta agar gubernur tidak berpikir demikian, karena apa yang disebut selama ini merupakan aturan yang menguntungkan rakyat Aceh Timur untuk puluhan tahun ke depan.
“Saya tidak pernah minta apa pun dari Medco untuk kepentingan pribadi saya, coba tanyakan ke Medco. Saya rasa, orang yang berpikir demikian belum mengetahui detail duduk masalah,” terang Bupati dalam rilisnya..
Yang tak kalah hebatnya, Bupati meminta Gubernur tidak perlu mencampuri urusan rumah tangga Aceh Timur, tapi yang harus diselesaikan oleh gubernur adalah masalah bagi hasil Migas antara pemerintah pusat dan Aceh. Muslim mengingatkan, jangan gara-gara penilaian gubernur, dirinya dinilai negatif oleh rakyat Aceh Timur .
Terlepas dari konflik antara pemerintah Aceh Timur dengan Pemerintah Aceh, Gubernur Irwandi Yusuf mengatakan, operasional PT Medco E&P Indonesia di Blok A Aceh Timur akan membawa dampak menguntungkan bagi pembangunan daerah tersebut. Terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja, menambah pendapatan asli daerah (PAD), dan manfaat lainnya.
Dan atas dasar itu Gubernur Aceh memperpanjang kontrak dengan PT Medco, dan terlepas dari itu rakyat Aceh Timur pun mulai sedikit berbangga dengan berjalannya operasional PT Medco, paling tidak satu persatu tenaga kerja mulai di rekrut oleh medco.
Lalu sudah muluskah PT Medco untuk ‘menyedot’ minyak dan gas di Aceh Timur?. Ternyata tidak, konflik lain masih menghadang perusahaan ini, Sabtu 30 Juli lalu sekitar pukul 22.15 WIB Satu unit alat berat jenis greder milik PT Medco yang sedang melaksanakan proyek di Desa Blang Simpo, Kecamatan Peureulak, Aceh Timur, nyaris dibakar empat orang tak dikenal (OTK).
Kapolres Aceh Timur mengatakan, empat pria memerintahkan orang yang kebetulan menjaga kawasan itu untuk membakar alat berat yang sedang parkir dengan menodongkan senjata laras panjang, namun ditolak oleh penjaga. Selanjutnya pria tersebut segera menyiramkan minyak yang sudah disiapkan pada ban greder itu, lalu menyulutkan api dan segera kabur.
Selain itu PT Medco juga sering diancam dan dengan ’diperas’ oleh orang tak di kenal baik melalui sms maupun secara langsung. Hal ini di akui oleh staf humas PT Medco Abdul Razak.
Konflik berikutnya yang menghadang PT Medco tetang pembebasan lahan. Negoisasi ganti rugi tanah yang akan diperuntukkan untuk lokasi eksplorasi Gas PT Medco di Kecamatan Indra Makmur Aceh Timur oleh tim 9 dan pemkab setempat serta pihak Medco yang digelar di aula Kantor Camata Indra Makmur beberapa waktu lalu di warnai ketegangan. Sehingga tidak di temukan hasil yang memuaskan.
Ratusan pemilik tanah mempertanyakan komitmen PT Medco untuk melakukan ganti rugi dan harga yang pasti. Tim yang tergabung dari LSM, wartawan, tokoh masyarakat, unsur Muspika, dan juga terlihat ketua KIP Langsa Agusni AH ikut mendampingi Tim tersebut mengatakan, cepat lambatnya proses ganti rugi lahan sangat tergantung pada masyarakat, bukan pada PT Medco atau pemerintah.
Kehadiran ketua KIP kota Langsa ini menjadi tandatanya banyak pihak, namun terakhir Agusni di ketahui masuk dalam tim 9. Pria asal Aceh Utara ini meminta kepala desa segera mengajukan usulan harga tanah, karena usulan tersebut menjadi menjadi pedoman tim independen dalam menentukan harga tanah dan pemilik tanah segera membuat pernyataan bahwa tanahnya bersedia di bebaskan.
Saat itu, permintaan Agusni di tantang oleh pemilik tanah, Menurut mereka, tanpa membuat pernyataan pemilik tanah sudah setuju tanahnya di bebaskan, bahkan sejak kedatangan Medco ke Aceh Timur, masyarakat sudah siap untuk itu, namun hingga sekarang jangankan pembebasan, penawaran harga saja belum dilakukan.
“Kalau kami tidak setuju tanah kami dibebaskan, sudah pasti kami tidak datang pada acara ini, bahkan sejak Medco masuk, sudah sekian banyak tanaman kami dipotong dan kami tidak pernah menuntut itu,” kata Abubakar.
Sedangkan Agusni yang duduk berdampingan dengan Zubaidi dari PT Medco dan tim lainnya tampak sedikit tercengang mendengar tanggapan pemilik tanah, barang kali Agusni baru kali ini mengetahui persoalan pembebasan lahan.
Tentang pembebasan lahan juga tak kalah bandingnya, konflik yang sangat serius dalah hal ini kembali harus di hadapi PT Medco. Yakni tumpang tindihnya kepemilikan lahan. Sebelum realisasi pembayaran di lakukan, Lahan yang akan di bebaskan adalah milik masyarakat setempat yang sudah di kuasainya berpuluh–puluh tahun, dan memiliki surat sporadik dan bahkan sebagiannya memiliki sertifikat.
Namun ketika mendekati waktu pembayaran banyak pihak mengaku sebagai pemilik tanah, sehingga terjadilah tumpang tindih kepemilikan. Untuk mempercepat dan memperjelas realisasi pembayaran, PT Medco dan pemerintah Aceh Timur yang di wakili kabag Pertanahan kembali mengundang para pemilik tanah.
Dalam pertemuan yang kembali di gelar di Aula kantor Camat Indra makmur, Kabag Pertanahan, Marzaini mengatakan PT Medco meminta Pemerintah Aceh Timur agar memediasi sengketa tanah yang akan dibebaskan. Pernyataan Marzaini di awal pembukaan acara ini sungguh membingungkan pemilik tanah, pasalnya para pemilik tanah merasa tanahnya tidak pernah bersengketa. “Kami diminta oleh PT Medco agar memediasi sengketa tanah supaya cepat realisasi pembebasan, jadi saya berharap agar antara pemilik tanah berdamai,” pinta Marzaini
Seorang pemilik tanah langsung mempertanyakan, apa yang akan didamaikan sementara masalah yang terjadi tidak di ketahuinya, yang bersangkutan meminta agar dijelaskan terlebih dahulu pokok masalahnya dan sengketa yang bagaimana perlu di damaikan.
Pertanyaan pemilik tanah ini langsung di jawab oleh Zubaidi, yang mewakili PT Medco. Menurutnya sengketa tanah terjadi antara sembilan pemilik tanah dengan ahli waris T Raja Makmur yang dalam pertemuan ini di wakili oleh Mantan Anggota DPRK Aceh Timur Agus Rijal dan Ibu Vera pengacaranya asal Jakarta.
Sebagian pemilik tanah semakin terkejut ketika Zubaidi berkali-kali meminta agar berdamai saja, karena kata Zubaidi dengan sedikit mangancam, pihak Medco tidak akan menunggu hasil putusan pengadilan untuk pembebasan lahan, apalagi harus menunggu putusan mahkamah Agung.
Agus Rijal, yang mengaku sebagai ahli waris pemilik tanah atas nama T Raja Makmur memohon Pemkab Aceh Timur dan PT Medco dapat memfasilitasi perdamaian sengketa tanah ini, karena menurutnya perdamain ini akan bermamfaat bagi masyarakat dan pemilik tanah. Agus mengaku jika pemilik tanah yang sekarang bersedia berdamai pihaknya selaku ahli waris siap untuk di bagi dua. Dari hasil surve yang di lakukan hampir 30 hektare yang klaim tanah milik T Raja Makmur masuk dalam kawasan pembebesan yang luasnya mencapai 60 hektare.
Namun sejumlah pemilik tanah mengaku perdamian yang disarankan Marzaini dan Zubaidi merupakan dugaan kuat bentuk keberpihakan mereka kepada Ahli waris T Raja Makmur, apalagi luas area tanah milik T Raja Makmur belum ketahui pasti berapa luasnya yang termasuk dalam lahan yang akan di bebaskan.
Sebenarnya bila Medco dan pemerintah beitikat baik dan meperhatikan nilai sosial, soal pembebasan lahan bukan menjadi sebuah masalah yang harus di pecahkan berlarut-larut, jika kepemilikan tanah belum jelas dan masih tumpang tindih bukan menjadi hambatan atau kendala bagi Medco untuk pembayaran. Uang ganti rugi dapat dititipkan di Pengadilan sambil menunggu putusan tetap atas kepemilikan.
Oleh karenanya seruan dan saran yang di lontarkan oleh Kabag Pertanahan Marzaini dan Zubaidi dari PT Medco agar berdamai antara sejumlah pemilik tanah dengan Ahli Waris T Raja makmur sah-sah saja mengundang paraduga jelek.
Yang menjadi pertanyaan banyak pihak dan pemilik tanah, kenapa puluhan tahun sebelumnya dan ketika tanah yang akan di bebaskan itu di garap oleh masyarakat berdasarkan surat sporadik dan akte tanah yang mereka miliki tidak muncul orang lain yang mengaku sebagai pemilik tanah, dan kenapa ketika tanah akan di bebaskan oleh medco muncul orang mengaku sebagai ahli waris pemilik tanah.
Staf Badan Pertanahan Negara (BPN) Aceh Timur, H Amad mengungkapkan, untuk sekarang ini apa yang diungkapkan oleh Agus Rijal Ahli waris T Raja Makmur belum dapat di pastikan, pasalnya pihak BPN belum melakukan pengukuran. Dan untuk memastikan kepemilikan ini bukan kewenangan pihak BPN.
Terkait sengketa dan tumpang tindihnya kepemilikan di duga banyak pihak ikut ‘bermain’ mulai dari pejabat tingkat Desa, kecamatan, hingga tingkap Kabupaten. Isu dan dugaan bahwa sengketa ini sengaja diciptakan untuk meraih keuntungan pribadi dengan mengorbankan hak-hak masyarakat. Desas—desus dan isu suap menyuap kini terdengar jelas dari berbagai pihak, sebagian pemilik tanah menyebutkan pihak yang ikut bermain dalam sengketa ini akan mendapat imbalan yang luamayan besar bila sengketa ini berhasil di damaikan.
Namun isu dan dugaan akan di berikan satu unit mobil ini di tepis oleh Geuchik Blang Nisam Sabirin dan Staf BPN H Amad, menurut keduanya isu tersebut tidak benar, Keduanya mengaku tidak dan belum pernah dijanjikan apapun oleh Ahli waris T Raja Makmur. Akan tetapi kedua mengaku akan menerimanya bila pemberian itu benar adanya.
Terlepas dari konflik demi konflik baik antara pemerintah Aceh Timur dengan Pemerintah Aceh dan konflik antara sesama pemilik tanah, yang jelas masyarakat tetap berada diposisi yang dirugikan. Dan yang kita sayangkan dengan sengketa yang belum jelas ini pula menjadi hambatan pembebasan lahan. Semoga dugaan dan isu yang belum dapat di pertanggung jawabkan ini tidak menjadi konflik baru yang harus di hadapi oleh PT Medco demi keuntungan bagi daerah dan semua pihak.[]
Ismail Abda, Ketua Umum Persatuan Wartawan Aceh Timur ( PESAWAT) Berdomisi di Aceh Timur
Harian Aceh
***